Jumat, 14 November 2008

……… EKSISTENSI LELAKI DAN PEREMPUAN ………

Suatu siang yang terik disebuah bis kota yang penuh sesak, melaju membelah jalan, kuberdiri menggelayut pada sebuah tiang besi, tubuhku berkeringat oleh cuaca yang kian terik dan sumpeknya udara disekitarku, bajuku basah, sepatu high heels yang kukenakan menyiksa tumitku yang terbiasa mengenakan sepatu sporty. Jika saja bukan karena ingin menghadiri pesta pernikahan kawanku tidak mungkin aku yang telah terbiasa santai dalam berbusana sedikit berubah lebih feminism. Disisiku seorang bocah laki-laki duduk dipangkuan ibunya, wajahnya yang lugu mengingatkanku pada anak kakakku yang seusia dengannya, matanya yang bening nalar menatap sang pengamen yang dengan suaranya yang baritone bernyanyi ditengah kerumunan manusia didalam bis. dandanannya yang sedikit menor, lentik jemarinya memainkan dawai gitar, kunikmati bait-bait lagu yang ia nyanyikan “ wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan permainan sangkar emas…”
Tiba-tiba kudengar lirih ucapan sang bocah “ ma, kakak itu laki-laki atau perempuan ??? ” sang ibu berucap “ ia laki-laki tapi juga perempuan ”, lalu sang bocah kembali bertanya “ tapi kenapa ? ” lalu percakapan-percakapan itu terhenti dengan beribu pertanyaan didalam benak sang bocah, sebab sang ibu keburu membekapnya dengan telunjuk yang ditempel kemulutnya tanda ia menyuruh anaknya untuk diam. Hatiku tersentak, seorang bocah yang umurnya masih sekitar 5 tahun bertanya tentang eksistensi seseorang. Pertanyaan yang sederhana namun tak pernah tuntas untuk dipertanyakan meski oleh seorang professor sekalipun. “mengapa seorang laki-laki ingin seperti perempuan (women clone)?“.
Meskipun ada beberapa literature-literatur yang masih saja berasumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak sempurna (The second sex). Bahwa makhluk yang pertama diciptakan adalah laki-laki, dan perempuan diyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka secara ontologism perempuan derivative, sekunder dan lemah. Bahkan ahli teologi abad pertengahan, Thomas Aquinas mengemukakan bahwa “generasi manusia muncul lewat air mani laki-laki dan wanita hanya menyumbang jasa, yang dibentuk oleh bibit laki-laki kemudian perempuan terjadi lewat sebuah kecacatan dimana proses pembentukan tersebut gagal terjadi secara utuh hingga perempuan dilahirkan sebagai anak laki-laki yang salah jadi “.
Namun dengan segala kemisteriusannya perempuan tetap perempuan. Apakah tubuh perempuan sangat menggoda untuk dimiliki hingga mereka (laki-laki) merelakan tubuh mereka untuk dipermak persis seperti dengan tubuh perempuan dengan payudara dan bibir bergincu, operasi plastic demi wajah seindah rembulan dengan alis tipis melengkung dan bulu mata lentik, bahkan ada yang sengaja operasi kelamin, membuang penisnya untuk sebuah lubang vagina, membusungkan dadanya dengan suntik silicon. Sebuah proses transisi yang pasti menyakitkan dan membutuhkan materi dan kesiapan mental yang kuat.
Lalu kuteringat pada sebuah kontes kecantikan ratu sejagad waria, dan beberapa perkumpulan yang diorganisir oleh mereka yang telah merubah statusnya menjadi seperti perempuan dengan berbagai sosialisasi dan kegiatan yang mengukuhkan keberadaan mereka. Bahkan beberapa diantaranya dengan sunguh-sungguh mengenakan jilbab selayaknya seorang muslimat sejati. Kembali kuteringat sepotong kisah disalah satu stasiun televisi swasta pada sebuah wawancara talk show, seseorang bertanya pada beberapa pembicara dari sebuah perkumpulan waria “ bagaimana cara kalian yang ingin membuang air kecil? Dan bagaimana jika ia meninggal, apakah ia ingin tetap seperti dirinya yang sebenarnya atau mati seperti yang ia lakoni ?” beberapa pertanyaan yang tentu saja nyeleneh namun menggugah kita untuk berfikir seperti apa keinginan mereka yang sesungguhnya?. Apa yang ada dalam fikiran dorce dan kawan-kawan yang telah merubah eksistensinya dari laki-laki menjadi perempuan. Dimana letak kesalahan dan bagaimana pembenarannya bagi kita.
Tubuh perempuan memang menggoda bagi siapa saja yang menginginkannya, dengan berbagai cara perempuan dan tubuhnya dianggap bertanggungjawab atas status subordinasi mereka dalam masyarakat, diskriminasi, marginalisasi, violene, bahkan dieksploitasi. Anganku terus berpacu dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang merayapi logikaku. Sebagai seorang mahasiswi yang terlibat untuk memperjuangkan nasib perempuan yang masih diskriminatif dan kerap dimarginalkan. Perjuangan yang tiada henti-hentinya oleh kami untuk menuntut kesetaraan tanpa membuat kaum perempuan menjadi seperti lelaki (not male clone) agar tercipta suatu masyarakat yang bebas gender (gender-free a society).
Pernahkah kita bertanya mengapa perempuan diciptakan tidak seperti laki-laki, tanpa penis, tanpa jakun, tanpa kumis? Jawabannya adalah Ya perempuan bukan laki-laki lalu mengapa ketika seseorang memutuskan untuk menjadi perempuan menghilangkan sosoknya sebagai laki-laki, dunia tunduk atas nama HAM, segala norma tak lagi diindahkan. Humanism-pluralisme-liberalisme dan ketika perempuan menuntut kesetaraan tanpa merubah jati dirinya dunia seolah runtuh, norma dan agama memaksa perempuan untuk diam dan memasungnya dalam bingkai KODRAT….

Senin, 08 September 2008

congratulation

SEGENAP KELUARGA KOHATI (KORPS HMI-WATI) CAB.MAKASSAR TIMUR
MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS TERPILIHNYA KANDA
"DEWITA HAYU SHINTA"
SEBAGAI KETUA UMUM KOHATI PB HMI PERIODE 2008-2010 PADA MUNAS KOHATI XVI DI PALEMBANG

Rabu, 13 Agustus 2008

PERAN PEREMPUAN TERHADAP PELESTARIAN ALAM

Beberapa tahun terakhir bencana terus melanda diberbagai belahan dunia, seakan alam sudah enggan bersahabat dengan manusia. Angin keras, badai dan curah hujan naik secara signifikan di satu bagian dunia, namun menurun di belahan dunia yang lain.
Keseluruhan kegiatan manusia menghasilkan emisi gas rumah kaca di atmosfer bumi, dan komponen terbesarnya adalah karbondioksida (CO2). Penebalan CO2 di atmosfer laksana permadani yang membentang, berakibat pada naiknya temperature muka bumi secara global. Jika terus dibiarkan maka ekosistem hidup akan terganggu. Salah satu hal terbesar yang dapat menimbulkan pemanasan global adalah tidak adanya keseimbangan alam disebabkan hutan sebagai salah satu sumber utama keragaman hayati tidak berfungsi secara optimal akibat banyaknya kasus illegal loggin.
Perempuan dan Lingkungan Hidup
KTT di Rio de Janeiro tahun 1992 secara eksplisit menyatakan keterkaitan antara perempuan, lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan antara lain termuat dalam agenda 21 Kelompok perempuan stakeholder yang harus dilibatkan, hal ini dicantumkan dalam prinsip ke-20 deklarasi : “ Perempuan mempunyai peran penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan. Partisipasi penuh mereka sangat penting untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan”.
Beberapa penelitian menunjukkan perempuan cenderung mempunyai minat besar dalam melestarikan tanaman lading, hutan dan sumber daya alam lainnya untuk dapat dipakai selamanya, lantaran karena tanggung jawabnya untuk menyediakan makanan senat, bahan bakar dan air. Beban kerja tersebut bertambah pada saat sumber-sumber makanan, bahan bakar dan air berkurang. Sedangkan laki-laki lebih sering menggunakan sumber daya untuk tujuan mendapatkan uang (Mitchell, 2000).
Dalam keseharian perempuan dan anak-anak lah yang sangat membutuhkan air. Bagaimana seorang ibu memilih, mengambil, menyimpan, memelihara dan memanfaatkan air, secara tidak langsung akan menjadi kebiasaan yang akan ditiru oleh anak-anaknya.
Tak dapat dipungkiri bahwa perempuan dan alam merupakan keterkaitan yang tak terhindarkan. Perempuan sebagai pemelihara, pelindung keberadaan alam telah membangkitkan gerakan ekofeminisme (Arivia.G, 2002). Perempuan adalah sosok yang sangat dekat dengan alam sehingga kedekatannya ini menjadikan mangsa dominasi system globalisasi ekonomi. Dimana tubuh perempuan menjadi sasaran marginalisasi dan pemiskinan. Ini juga menunjukkan bahwa paradigm ethnocentries perlu diubah dengan paradigm ecocentries yang menuju paradigm ekofemis (Darmawati, 2002).
Peran KOHATI
Kohati sebagai komponen strategis bangsa dan sebagai salah satu wadah akselerasi pemberdayaan perempuan memiliki instrument yang ampuh dalam memobilisasi perempuan untuk melestarikan lingkungan. Ke depan persoalan lingkungan semestinya menjadi main issue dalam perjalanan Kohati, bekerja sama dengan WALHI dan pihak lain yang konsen pada persoalan lingkungan.
Kohati bahkan diharapkan mampu berperan sebagai agent of control terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan lingkungan termasuk sector kehutanan yang kini marak dipersoalkan. Memang lingkungan bukanlah hal yang menggairahkan untuk dibahas apalagi ditekuni, jika dibandingkan sector hokum atau politik bagi Kohati atau HMI sekalipun. Namun, kalau kita mau mencoba menelaah, sebenarnya lingkungan sangat menarik untuk dibahas dan berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Lingkungan berkaitan dengan multidimensi, baik pendidikan, ekonomi maupun hokum. Tinggal dimana dan bagaimana kita berperan secara optimal.

Jumat, 13 Juni 2008

KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM

“Dalam kongres Internasional tentang “ Sejarah Agama” di Roma (1990) berhasil diungkap pandangan-pandangan para cendekiawan dunia tentang peran dan posisi kaum perempuan berdasarkan perspektif agama-agama. Menurut Annemarie Schimmel, kalangan aktivis feminisme di Barat justru banyak melayangkan kritik terhadap agama islam. Mereka berpandangan bahwa agama islam tidak menempatkan posisi kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki.”

Kritik dari kalangan aktivis feminisme terhadap agama islam memang banyak ditemukan dalam berbagai kajian akademik. Akan tetapi, para pengkritik islam yang berlatarbelakang aktivis Feminisme cenderung mengabaikan standar Islam dalam memahami peran dan posisi kaum perempuan.
Dalam buku The Tao of Islam (1996), Sachiko Muratha menganggap bahwa kritik kaum feminis terhadap agama Islam cenderung menggunakan ”standar Barat’” padahal, menurut Sachiko Murata, terdapat pemaksaan ideal abstrak berdasarkan standar Barat terhadap dunia Timur yang justru telah memiliki standar tersendiri dalam menempatkan peran dan possisi kaum perempuan.

Budaya Patriarkhi
Al-Qur’an diturunkan dalam sebuah kostruksi sosial yang menganut sistem budaya patriarkhi, yaitu sebuah konstruksi sosial yang menempatkan kaum laki-laki lebih dominan ketimbang kaum perempuan. Namun kostruksi sosial semacam ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah masyarakat yang tinggal di kawasan padang pasir (desert) atau padang bebatuan (petric).
Secara sosiologis, bangsa Arab merupakan sekelompok manusia yang telah lama ditempa oleh kerasnya iklim padang pasir dan padang bebatuan tandus. Pola pikir dan konstruksi sosial yang berlaku dalam konteks budaya Arab dipengaruhi oleh kondisi geografis tersebut. Tidak heran jika kemudian bangsa Arab cenderung menenmpatkan posisi kaum laki-laki lebih dominan terhadap kaum perempuan. Hal ini tidak lain karena aspek fisik semata. Semakin kuat seseorang, maka posisinya akan semakin menentukan. Karena perempuan secara fisik lemah sehingga harus menempati posisi yang termarjinalkan.
Jika mempelajari sejarah bangsa Arab pra islam, mereka memiliki salah satu tradisi yang sangat tidak humanis, yaitu membunuh bayi-bayi perempuan secara hidup-hidup (qatlu al-banat). Menurut sejarawan A.Hasjmy (1995), bangsa Arab pra Islam merasa gengsi memiliki bayi perempuan. Sebab, setiap bayi perempuan selalu identik dengan kelemahan. Akibatnya, mereka memilih untuk membunuh bayi-bayi perempuan sejak lahir.
Namun, perlu dicatat di sini bahwa tradisi membunuh bayi-bayi perempuan tidak berlaku secara umum di tanah Arab. Menurut Syafiq Mughni (2002), tradisi semacam ini hanya berlaku bagi suku Tamim dan Asad, selebihnya bangsa Arab pra Islam tetap menempatkan posisi bayi perempuan setara dengan bayi laki-laki.
Dalam konteks budaya semacam itulah Nabi Muhammad saw kemudian diutus. Misi kenabian Muhammad saw bertujuan untuk membenahi konstruksi sosial yang timpang. Tentu tidak mengherankan jika beberapa ayat dalam Al-Qur’an dinilai terlalu maskulin.

Kritik Terhadap Islam
Para aktivis Feminisme mengkritik doktrin Islam karena dianggap mengabaikan hak-hak kaum perempuan, misalnya seperti yang dinyatakan dalam ayat, ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Tuhan telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)” (Qs. An-Nisa : 34).
Menanggapi kritik para aktivis Feminisme terhadap agama Islam ini, para cendekiawan muslim berusaha menanggapinya secara kritis. Misalnya Asghar Ali Engineer, cendekiawan Muslim India yang dikenal cukup kritis dalam memahami agama Islam, dalam buku Islam dan Teologi Pembebasan (1999) berpendapat bahwa Al-Qur’an (wahyu) sejatinya bersifat normatif dan sekaligus pragmatis. Al-Qur’an diturunkan dalam suatu konstruksi sosial yang bersifat kontekstual dan dinamis.
Atas dasar inilah, menurut Asghar Ali Engineer, bahwa turunnya wahyu harus dilihat dalam konteks dimana tempatnya berada. Dengan kata lain, memahami wahyu harus memperhatikan aspek historisitasnya.
Asghar Ali Engineer mengajak kita agar tidak menempatkan konteks budaya Arab sebagai teks yang normatif. Yang mesti dipahami sebagai teks adalah wahyu Tuhan yang normatif. Namun disini, kebanyakan umat Islam terjebak justru dalam teks-teks normatif. Umat Islam menerapkan teks-teks normatif tersebut tanpa melihat konteks sosio-historis yang jelas bersifat parsial, profan dan dinamis.

Islam dan Kesetaraan Gender
Sepintas, surat An-Nisa ayat 34 tadi seakan-akan merendahkan derajat perempuan. Wahyu ini memang diturunkan dalam konteks budaya patriarkhi. Menurut hemat penulis, wahyu Tuhan ini jelas sangat relevan dengan konteksnya. Sebab, wahyu ini diturunkan untuk menjawab persoalan dalam konteks budaya setempat. Hanya saja yang patut dicermati, budaya setempat itu kontekstual dan dinamis. Artinya, perlu dipertegas, bahwa budaya setempat bukan sebagai teks normatif yang statis. Otomatis, budaya setempat tidak bisa dijadikan sebagai pegangan (doktrin)
Yang harus dipahami oleh kalangan aktivis Feminisme di Barat bukanlah makna tekstual surat An-Nisa ayat 34. mereka harus memahami budaya turunya wahyu ini berdasarkan prinsip ”relevansi” dan ”keadilan sosial”. Maksudnya, wahyu ini jelas relevan dengan konteksnya. Sementara menempatkan posisi kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan dalam konteks masyarakat Arab jelas cukup adil. Tentu akan lain seandainya wahyu tersebut diturunkan dalam konteks budaya matrinial.
Sesungguhnya kedudukan kaum perempuan cukup strategis dalam agama Islam. Sebab, surat An-Nisa ayat 34 bukan satu-satunya surat yang membicarakan kedudukan perempuan dalam Islam. Dengan mengkaji beberapa ayat sejenis dalam Al-Qur’an masih membuka kemungkinan tafsir-tafsir yang lebih toleran untuk menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki. Kita bisa menggunakan surat Al-Baqarah ayat 228 dan Al-Ahzab ayat 35. justru dari dua ayat ini sama sekali tidak menunjukkan adanya diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Sebab, antara keduanya dinilai sepadan.
Meskipun antara kaum laki-laki dan perempuan di pandang sederajat, tetapi dalam memperoleh hak-hak tersebut disesuaikan dengan kodrat penciptaan masing-masing. Hak-hak tersebut dianggap sepadan dengan catatan tidak menyalahi kodrat penciptaannya. Penulis yakin bahwa tidak ada stigma diskriminatif dalam ajaran Islam, namun secara historis, boleh jadi demikian. Seperti posisi kaum perempuan dalam budaya Arab yang termarginalkan, jelas hal itu persoalan historis (kontekstual).
Prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam Islam justru memiliki keunikan tersendiri jika, dibandingkan dengan paradigma yang berkembang di Barat. Misalnya, dalam konteks budaya Indonesia, kaum perempuan bisa berpartisipasi di ranah publik dengan menjabat posisi struktural pemerintahan. Bahkan, dengan disyahkannya UU Pemilu yang mewajibkan kuota 30 % bagi kaum perempuan di Indonesia, merupakan bukti bahwa mereka yang bisa berbuat seperti apa yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.
Namun sekali lagi perlu diingat, perempuan dengan kodrat yang telah diberikan kepadanya jelas memiliki kelemahan tersendiri, seperti halnya kaum laki-laki. Secara kodrati, antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Atas pertimbangan rasional dengan memperhatikan kodratnya yang demikian, maka muncul batasan-batasan etik yang khas bagi kaum perempuan. Dalam hal ini, KOHATI sebagai gerakan sosial modernis banyak mengkaji hal tersebut.
Inilah salah satu bukti bahwa doktrin Islam sangat relevan dengan persoalan Feminisme. Namun Islam menawarkan standar tertentu dalam menempatkan prinsip kebebasan bagi kaum perempuan. Prinsip kebebasan tersebut tidak akan bisa dipahami berdasarkan standar Barat.

Kamis, 22 Mei 2008

Tolak Kenaikan BBM


Pada tanggal 12 Mei 2008 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korps HMI-Wati (KOHATI)Cabang Makassar Timur melakukan aksi damai tolak kenaikan BBM.Aksi tersebut diikuti sekitar 200 orang kader HMI Cab.Maktim, aksi dimulai dari pintu 1 UNHAS kemudian dilanjutkan ke kantor DPRD SUL-SEL.
Aksi damai tersebut dilatarbelakangi oleh persoalan keterpurukan multidimensional yang dialami bangsa ini adalah sebuah bukti dari ketidakberhasilan pemerintah kita dalam menata pemerintahan yang berkeadilan. Tentunya tidak terlepas pula dari intervensi yang sangat besar yang dilakukan oleh negara-negara kapitalisme dalam menguasai aset-aset dan sumberdaya yang dimiliki bangsa ini.
Intervensi negara-negara kapitalisme yang begitu besar membuat seluruh kebijakan pemerintah SBY-JK hari ini sangat tidak populis dan membuat begitu banyak beban penderitaan rakyat yang harus mereka tanggung sendiri. Ironis untuk sebuah bangsa yang memiliki sumberdaya alam melimpah ruah,rakyatnya harus mati kelaparan karena ketidakterjangkauan terhadap hak-hak dasar.
BBM sebagai jantung kehidupan bangsa ini menjadi sebuah barang yang langka dan mahal untuk dijangkau oleh rakyat Indonesia. Terlepas dari segala bentuk hegemoni, kapitalisasi dan spekulasi para politisi busuk yang terjadi hari ini, sebuah pertanyaan besar kita ajukan terhadap pemimpin negara hari ini terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam mengemban amanah rakyat !!!
Sebuah kerangka gagasan, ide dan pemikiran yang katanya pro terhadap nasib rakyat toh ternyata hanya sebuah jualan politik untuk mendorong segala kebijakan yang hanya menguntungkan aktor-aktor politik dan perusahaan-perusahaan multinasional untuk menjadi sebuah kendaraan politik dan lagi-lagi derita rakyat dan kemiskinan semakin sulit lenyap dari bangsa ini.
Untuk itu, kami dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)dan Korps HMI-Wati (KOHATI) Cabang Makassar Timur dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab menyatakan sikap dengan mengajukan poin tuntutan sebagai berikut :
1. Menolak kenaikan harga BBM
2. Nasionalisasi terhadap aset-aset nasional yang hari ini dimonopoli oleh pihak
asing.
3. Menuntut pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap harga bahan-bahan pokok.
4. Tolak bantuan langsung tunai (BLT)
5. Indonesia harus keluar dari OPEC
Sebuah harapan dan cita-cita akan terciptanya kehidupan yang adil dan makmur adalah tuntutan yang diajukan terhadap pemerintah.

Senin, 19 Mei 2008

Latihan Khusus Kohati (LKK)


Alhamdullillah.... Korps HMI-wati (KOHATI) Cab.Makassar Timur telah melaksanakan Latihan Khusus Kohati (LKK) tingkat regional Se-BADKO SULSELRABAR pada tanggal 1-4 mei 2008, kegiatan tersebut diikuti oleh beberapa cabang yang ada di tingkatan Badko SULSELRABAR antara lain KOHATI Cab.Makassar, KOHATI Cab.Jeneponto, KOHATI Cab.Gowa Raya, KOHATI Cab.Maros, KOHATI Cab.Sidrap, KOHATI Cab.Majene, KOHATI Cab.Palopo, KOHATI Cab.Bone dan KOHATI Cab.persiapan Manakara. Jumlah peserta secara keseluruhan adalah 33 orang.
Kegiatan yang diketuai oleh A.Fitriani tersebut mengusung tema "Tafsir Baru Perempuan Indonesia Upaya Mempertegas Peran Kohati Sebagai Gerakan Sosial" menghadirkan pemateri-pemateri yang berkompeten dan diharapkan mampu meningkatkan wacana-wacana keperempuanan kepada peserta LKK. Kegiatan tersebut berlangsung selama 4 hari di Balai Diklat Kehutanan Makassar dan ditutup oleh wakil dari Pengurus KOHATI PB Kanda Sisin yang menyempatkan hadir pada kegiatan tersebut, Alhamdulillah LKK KOHATI Cab.Maktim dapat berjalan dengan lancar...

Kamis, 08 Mei 2008

Dari Kartini Sampai Feminisme Islam

‘Yang tak kalah spektakuler adalah gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Inpres No.1 tahun 1991. Bagi mereka, KHI masih mengidap cara pandang dan filosofi patriakrhi. Karena itu, perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan.’

Perjuangan keadilan dan kesetaraan gender di negeri ini telah berlangsung lama, sejak sebelum Indonesia merdeka hingga era reformasi. Tokoh-tokoh dan isunya pun beragam. Jika dikategorisasi secara periodik, gerakan feminisme Indonesia punya empat gelombang.

Pertama, dirintis oleh individu-individu yang tak terlembaga dan terorganisasi secara sistemik. Mereka bergerak sendiri-sendiri. Mungkin karena hambatan dan keterbatasan, perempuan sekuler seperti RA Kartini, tak bersinergi dengan perempuan Muslim dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Periode ini berlangsung senjak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh perempuan Muslim yang muncul pada periode ini, antara lain Rohana Kuddus (Minangkabau), Rahmah el-Yunusiyah, dan lain-lain. Mereka telah mendirikan pesantren khusus perempuan (ma'had lial-banat). Di pesantren, remaja-remaja puteri diajari baca-tulis. Telah disadari, belajar membaca dan menulis bukan hanya hak khusus kaum laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan saat itu bukan hanya menuntut perbaikan pendidikan perempuan, tapi juga telah menggugat praktek poligami, pernikahan dini, dan perceraian yang sewenang-wenang. Gerakan individual yang baru dalam tahap rintisan ini tak bisa diharapkan punya pengaruh signifikan. Perjuangan mereka seperti berteriak di tengah belantara dunia patriakhi.

Kedua, institusionalisasi gerakan dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan seperti Persaudaraan Isteri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Puteri Indonesia, Aisyi'ah Muhammadiyah, dan Muslimat NU. Ini berlangsung antara akhir 1920-an hingga akhir 1950-an. Isu yang berkembang masih sama dengan sebelumnya, yaitu emansipasi perempuan di pelbagai bidang, termasuk penolakan poligami, pembenahan pendidikan, dan sebagainya. Organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyi'ah, cukup gencar menyuarakan pentingnya perempuan mengambil bagian di ruang publik, karena mereka punya hak yang setara dengan laki-laki untuk meningkatkan kualitas diri. Cukup mengagetkan, Muslimat NU—yang dikenal tradisional—dalam sebuah konferensi di Surabaya (1930-an) mulai mendesak agar perempuan dibolehkan memasuki lembaga-lembaga politik. Desakan Muslimat NU ini dikukuhkan konferensi besar Syuriah NU (1957) di Solo yang membolehkan perempuan menjadi anggota parlemen. Pada periode ini, undang-undang keluarga pertama lahir: UU No. 22 tahun 1946. Salah satu pasalnya menyebut bahwa perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. Penubuhan gagasan ke dalam sebuah undang-undang, sungguh terobosan baru.

Ketiga, emansipasi perempuan dalam pembangunan nasional yang berlangsung sejak 1960-an hingga 1980-an. Dengan makin baiknya pendidikan perempuan, sejumlah perempuan mulai terlibat dalam proses pembangunan yang digalakkan Orde Baru. Perempuan bukan hanya diakui kemampuannya, tapi juga diajak aktif dalam mengisi pembangunan. Ada banyak tokoh perempuan Islam yang lahir pada periode ini, misalnya Zakiah Drajat. Ormas keagamaan tradisonal seperti NU memasukkan perempuan dalam komposisi Syuriah NU, seperti Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, Nyai Khoriyah Hasyim. Ini tak lazim dan tak ada presedennya dalam sejarah NU. Hanya saja, gerakan perempuan pada periode ini belum maksimal. Perempuan cenderung tidak proaktif dalam proses-proses tersebut. Ini mungkin karena jumlah yang terlibat masih terbatas. Namun yang perlu dicatat, pada periode ini telah lahir Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Di dalam Undang-Undang ini, poligami makin dibatasi. Laki-laki tak bisa mempraktekkan poligami tanpa mendapat ijin isteri. Pengetatan poligami ini sempat mengundang polemik tajam dalam tubuh umat Islam.

Keempat, diversifikasi gerakan hingga ke level terbawah seperti pesantren.Ini berlangsung antara 1990-an hingga sekarang. Pada era ini terjadi sinergi antara feminis sekular dan feminis Islam. Feminis sekular seperti Saparinah Sadli, Wardah Hafidz, Nursyahbani Katjasungkana, Yanti Mukhtar dan Gadis Arivia, yang punya hambatan teologis dalam gerakan, mendapat injeksi moral- keagamaan dari para feminis Muslim. Begitu juga sebaliknya; para feminis Muslim mendapat pengayaan wacana dari tokoh-tokoh feminis sekuler. Mereka berjejaring dan bersinergi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Muara yang hendak dituju sama, yaitu penguatan civil society, demokratisasi, dan penegakan HAM, termasuk keadilan dan kesetaraan gender. Prestasi yang perlu dicatat pada periode ini adalah lahirnya UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU ini menegaskan bahwa kekerasan bukan hanya fisik, tapi juga psikis, seksual, atau petaran (Bab III pasal 5).
Yang tak kalah spektakuler adalah gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Inpres No.1 tahun 1991. Bagi mereka, KHI masih mengidap cara pandang dan filosofi patriarkhi. Karena itu, perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan. Para feminis Muslim yang fenomenal dalam gelombang ini, antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin. Yang menarik, tak seperti periode sebelumnya, gelombang terakhir ini tak lagi diurus kaum perempuan per se, tapi juga disokong secara moral-intelektual oleh feminis laki-laki, seperti (alm.) Mansoer Fakih, Nasaruddin Umar, Budhy Munawar-Rachman, dan KH Husein Muhammad. Kehadiran mereka ikut menambah amunisi bagi kokohnya gerakan perempuan di Indonesia.
Kiai Husein yang datang dari lingkungan pesantren, sebuah institusi yang selama ini dianggap sebagai lumbung konservasi teologi patriakhi, menulis sejumlah buku penguatan dan advokasi perempuan dari perspektif fikih. Kini generasi di bawah mereka sudah siap menyangga dengan perlengkapan intelektual yang mumpuni dan integritas diakui, seperti Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, Syafiq Hasyim, Badriyah Fayumi, Masruchah, dan lain-lain. Tokoh-tokoh muda yang rata-rata lahir tahun 1970-an ini punya dedikasi tinggi bagi tegaknya keadilan dan punahnya diskriminasi di negeri ini.***
 
Yin And Yang