Kamis, 22 Mei 2008

Tolak Kenaikan BBM


Pada tanggal 12 Mei 2008 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korps HMI-Wati (KOHATI)Cabang Makassar Timur melakukan aksi damai tolak kenaikan BBM.Aksi tersebut diikuti sekitar 200 orang kader HMI Cab.Maktim, aksi dimulai dari pintu 1 UNHAS kemudian dilanjutkan ke kantor DPRD SUL-SEL.
Aksi damai tersebut dilatarbelakangi oleh persoalan keterpurukan multidimensional yang dialami bangsa ini adalah sebuah bukti dari ketidakberhasilan pemerintah kita dalam menata pemerintahan yang berkeadilan. Tentunya tidak terlepas pula dari intervensi yang sangat besar yang dilakukan oleh negara-negara kapitalisme dalam menguasai aset-aset dan sumberdaya yang dimiliki bangsa ini.
Intervensi negara-negara kapitalisme yang begitu besar membuat seluruh kebijakan pemerintah SBY-JK hari ini sangat tidak populis dan membuat begitu banyak beban penderitaan rakyat yang harus mereka tanggung sendiri. Ironis untuk sebuah bangsa yang memiliki sumberdaya alam melimpah ruah,rakyatnya harus mati kelaparan karena ketidakterjangkauan terhadap hak-hak dasar.
BBM sebagai jantung kehidupan bangsa ini menjadi sebuah barang yang langka dan mahal untuk dijangkau oleh rakyat Indonesia. Terlepas dari segala bentuk hegemoni, kapitalisasi dan spekulasi para politisi busuk yang terjadi hari ini, sebuah pertanyaan besar kita ajukan terhadap pemimpin negara hari ini terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam mengemban amanah rakyat !!!
Sebuah kerangka gagasan, ide dan pemikiran yang katanya pro terhadap nasib rakyat toh ternyata hanya sebuah jualan politik untuk mendorong segala kebijakan yang hanya menguntungkan aktor-aktor politik dan perusahaan-perusahaan multinasional untuk menjadi sebuah kendaraan politik dan lagi-lagi derita rakyat dan kemiskinan semakin sulit lenyap dari bangsa ini.
Untuk itu, kami dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)dan Korps HMI-Wati (KOHATI) Cabang Makassar Timur dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab menyatakan sikap dengan mengajukan poin tuntutan sebagai berikut :
1. Menolak kenaikan harga BBM
2. Nasionalisasi terhadap aset-aset nasional yang hari ini dimonopoli oleh pihak
asing.
3. Menuntut pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap harga bahan-bahan pokok.
4. Tolak bantuan langsung tunai (BLT)
5. Indonesia harus keluar dari OPEC
Sebuah harapan dan cita-cita akan terciptanya kehidupan yang adil dan makmur adalah tuntutan yang diajukan terhadap pemerintah.

Senin, 19 Mei 2008

Latihan Khusus Kohati (LKK)


Alhamdullillah.... Korps HMI-wati (KOHATI) Cab.Makassar Timur telah melaksanakan Latihan Khusus Kohati (LKK) tingkat regional Se-BADKO SULSELRABAR pada tanggal 1-4 mei 2008, kegiatan tersebut diikuti oleh beberapa cabang yang ada di tingkatan Badko SULSELRABAR antara lain KOHATI Cab.Makassar, KOHATI Cab.Jeneponto, KOHATI Cab.Gowa Raya, KOHATI Cab.Maros, KOHATI Cab.Sidrap, KOHATI Cab.Majene, KOHATI Cab.Palopo, KOHATI Cab.Bone dan KOHATI Cab.persiapan Manakara. Jumlah peserta secara keseluruhan adalah 33 orang.
Kegiatan yang diketuai oleh A.Fitriani tersebut mengusung tema "Tafsir Baru Perempuan Indonesia Upaya Mempertegas Peran Kohati Sebagai Gerakan Sosial" menghadirkan pemateri-pemateri yang berkompeten dan diharapkan mampu meningkatkan wacana-wacana keperempuanan kepada peserta LKK. Kegiatan tersebut berlangsung selama 4 hari di Balai Diklat Kehutanan Makassar dan ditutup oleh wakil dari Pengurus KOHATI PB Kanda Sisin yang menyempatkan hadir pada kegiatan tersebut, Alhamdulillah LKK KOHATI Cab.Maktim dapat berjalan dengan lancar...

Kamis, 08 Mei 2008

Dari Kartini Sampai Feminisme Islam

‘Yang tak kalah spektakuler adalah gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Inpres No.1 tahun 1991. Bagi mereka, KHI masih mengidap cara pandang dan filosofi patriakrhi. Karena itu, perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan.’

Perjuangan keadilan dan kesetaraan gender di negeri ini telah berlangsung lama, sejak sebelum Indonesia merdeka hingga era reformasi. Tokoh-tokoh dan isunya pun beragam. Jika dikategorisasi secara periodik, gerakan feminisme Indonesia punya empat gelombang.

Pertama, dirintis oleh individu-individu yang tak terlembaga dan terorganisasi secara sistemik. Mereka bergerak sendiri-sendiri. Mungkin karena hambatan dan keterbatasan, perempuan sekuler seperti RA Kartini, tak bersinergi dengan perempuan Muslim dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Periode ini berlangsung senjak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh perempuan Muslim yang muncul pada periode ini, antara lain Rohana Kuddus (Minangkabau), Rahmah el-Yunusiyah, dan lain-lain. Mereka telah mendirikan pesantren khusus perempuan (ma'had lial-banat). Di pesantren, remaja-remaja puteri diajari baca-tulis. Telah disadari, belajar membaca dan menulis bukan hanya hak khusus kaum laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan saat itu bukan hanya menuntut perbaikan pendidikan perempuan, tapi juga telah menggugat praktek poligami, pernikahan dini, dan perceraian yang sewenang-wenang. Gerakan individual yang baru dalam tahap rintisan ini tak bisa diharapkan punya pengaruh signifikan. Perjuangan mereka seperti berteriak di tengah belantara dunia patriakhi.

Kedua, institusionalisasi gerakan dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan seperti Persaudaraan Isteri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Puteri Indonesia, Aisyi'ah Muhammadiyah, dan Muslimat NU. Ini berlangsung antara akhir 1920-an hingga akhir 1950-an. Isu yang berkembang masih sama dengan sebelumnya, yaitu emansipasi perempuan di pelbagai bidang, termasuk penolakan poligami, pembenahan pendidikan, dan sebagainya. Organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyi'ah, cukup gencar menyuarakan pentingnya perempuan mengambil bagian di ruang publik, karena mereka punya hak yang setara dengan laki-laki untuk meningkatkan kualitas diri. Cukup mengagetkan, Muslimat NU—yang dikenal tradisional—dalam sebuah konferensi di Surabaya (1930-an) mulai mendesak agar perempuan dibolehkan memasuki lembaga-lembaga politik. Desakan Muslimat NU ini dikukuhkan konferensi besar Syuriah NU (1957) di Solo yang membolehkan perempuan menjadi anggota parlemen. Pada periode ini, undang-undang keluarga pertama lahir: UU No. 22 tahun 1946. Salah satu pasalnya menyebut bahwa perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. Penubuhan gagasan ke dalam sebuah undang-undang, sungguh terobosan baru.

Ketiga, emansipasi perempuan dalam pembangunan nasional yang berlangsung sejak 1960-an hingga 1980-an. Dengan makin baiknya pendidikan perempuan, sejumlah perempuan mulai terlibat dalam proses pembangunan yang digalakkan Orde Baru. Perempuan bukan hanya diakui kemampuannya, tapi juga diajak aktif dalam mengisi pembangunan. Ada banyak tokoh perempuan Islam yang lahir pada periode ini, misalnya Zakiah Drajat. Ormas keagamaan tradisonal seperti NU memasukkan perempuan dalam komposisi Syuriah NU, seperti Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, Nyai Khoriyah Hasyim. Ini tak lazim dan tak ada presedennya dalam sejarah NU. Hanya saja, gerakan perempuan pada periode ini belum maksimal. Perempuan cenderung tidak proaktif dalam proses-proses tersebut. Ini mungkin karena jumlah yang terlibat masih terbatas. Namun yang perlu dicatat, pada periode ini telah lahir Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Di dalam Undang-Undang ini, poligami makin dibatasi. Laki-laki tak bisa mempraktekkan poligami tanpa mendapat ijin isteri. Pengetatan poligami ini sempat mengundang polemik tajam dalam tubuh umat Islam.

Keempat, diversifikasi gerakan hingga ke level terbawah seperti pesantren.Ini berlangsung antara 1990-an hingga sekarang. Pada era ini terjadi sinergi antara feminis sekular dan feminis Islam. Feminis sekular seperti Saparinah Sadli, Wardah Hafidz, Nursyahbani Katjasungkana, Yanti Mukhtar dan Gadis Arivia, yang punya hambatan teologis dalam gerakan, mendapat injeksi moral- keagamaan dari para feminis Muslim. Begitu juga sebaliknya; para feminis Muslim mendapat pengayaan wacana dari tokoh-tokoh feminis sekuler. Mereka berjejaring dan bersinergi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Muara yang hendak dituju sama, yaitu penguatan civil society, demokratisasi, dan penegakan HAM, termasuk keadilan dan kesetaraan gender. Prestasi yang perlu dicatat pada periode ini adalah lahirnya UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU ini menegaskan bahwa kekerasan bukan hanya fisik, tapi juga psikis, seksual, atau petaran (Bab III pasal 5).
Yang tak kalah spektakuler adalah gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Inpres No.1 tahun 1991. Bagi mereka, KHI masih mengidap cara pandang dan filosofi patriarkhi. Karena itu, perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan. Para feminis Muslim yang fenomenal dalam gelombang ini, antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin. Yang menarik, tak seperti periode sebelumnya, gelombang terakhir ini tak lagi diurus kaum perempuan per se, tapi juga disokong secara moral-intelektual oleh feminis laki-laki, seperti (alm.) Mansoer Fakih, Nasaruddin Umar, Budhy Munawar-Rachman, dan KH Husein Muhammad. Kehadiran mereka ikut menambah amunisi bagi kokohnya gerakan perempuan di Indonesia.
Kiai Husein yang datang dari lingkungan pesantren, sebuah institusi yang selama ini dianggap sebagai lumbung konservasi teologi patriakhi, menulis sejumlah buku penguatan dan advokasi perempuan dari perspektif fikih. Kini generasi di bawah mereka sudah siap menyangga dengan perlengkapan intelektual yang mumpuni dan integritas diakui, seperti Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, Syafiq Hasyim, Badriyah Fayumi, Masruchah, dan lain-lain. Tokoh-tokoh muda yang rata-rata lahir tahun 1970-an ini punya dedikasi tinggi bagi tegaknya keadilan dan punahnya diskriminasi di negeri ini.***
 
Yin And Yang