Jumat, 13 Juni 2008

KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM

“Dalam kongres Internasional tentang “ Sejarah Agama” di Roma (1990) berhasil diungkap pandangan-pandangan para cendekiawan dunia tentang peran dan posisi kaum perempuan berdasarkan perspektif agama-agama. Menurut Annemarie Schimmel, kalangan aktivis feminisme di Barat justru banyak melayangkan kritik terhadap agama islam. Mereka berpandangan bahwa agama islam tidak menempatkan posisi kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki.”

Kritik dari kalangan aktivis feminisme terhadap agama islam memang banyak ditemukan dalam berbagai kajian akademik. Akan tetapi, para pengkritik islam yang berlatarbelakang aktivis Feminisme cenderung mengabaikan standar Islam dalam memahami peran dan posisi kaum perempuan.
Dalam buku The Tao of Islam (1996), Sachiko Muratha menganggap bahwa kritik kaum feminis terhadap agama Islam cenderung menggunakan ”standar Barat’” padahal, menurut Sachiko Murata, terdapat pemaksaan ideal abstrak berdasarkan standar Barat terhadap dunia Timur yang justru telah memiliki standar tersendiri dalam menempatkan peran dan possisi kaum perempuan.

Budaya Patriarkhi
Al-Qur’an diturunkan dalam sebuah kostruksi sosial yang menganut sistem budaya patriarkhi, yaitu sebuah konstruksi sosial yang menempatkan kaum laki-laki lebih dominan ketimbang kaum perempuan. Namun kostruksi sosial semacam ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah masyarakat yang tinggal di kawasan padang pasir (desert) atau padang bebatuan (petric).
Secara sosiologis, bangsa Arab merupakan sekelompok manusia yang telah lama ditempa oleh kerasnya iklim padang pasir dan padang bebatuan tandus. Pola pikir dan konstruksi sosial yang berlaku dalam konteks budaya Arab dipengaruhi oleh kondisi geografis tersebut. Tidak heran jika kemudian bangsa Arab cenderung menenmpatkan posisi kaum laki-laki lebih dominan terhadap kaum perempuan. Hal ini tidak lain karena aspek fisik semata. Semakin kuat seseorang, maka posisinya akan semakin menentukan. Karena perempuan secara fisik lemah sehingga harus menempati posisi yang termarjinalkan.
Jika mempelajari sejarah bangsa Arab pra islam, mereka memiliki salah satu tradisi yang sangat tidak humanis, yaitu membunuh bayi-bayi perempuan secara hidup-hidup (qatlu al-banat). Menurut sejarawan A.Hasjmy (1995), bangsa Arab pra Islam merasa gengsi memiliki bayi perempuan. Sebab, setiap bayi perempuan selalu identik dengan kelemahan. Akibatnya, mereka memilih untuk membunuh bayi-bayi perempuan sejak lahir.
Namun, perlu dicatat di sini bahwa tradisi membunuh bayi-bayi perempuan tidak berlaku secara umum di tanah Arab. Menurut Syafiq Mughni (2002), tradisi semacam ini hanya berlaku bagi suku Tamim dan Asad, selebihnya bangsa Arab pra Islam tetap menempatkan posisi bayi perempuan setara dengan bayi laki-laki.
Dalam konteks budaya semacam itulah Nabi Muhammad saw kemudian diutus. Misi kenabian Muhammad saw bertujuan untuk membenahi konstruksi sosial yang timpang. Tentu tidak mengherankan jika beberapa ayat dalam Al-Qur’an dinilai terlalu maskulin.

Kritik Terhadap Islam
Para aktivis Feminisme mengkritik doktrin Islam karena dianggap mengabaikan hak-hak kaum perempuan, misalnya seperti yang dinyatakan dalam ayat, ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Tuhan telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)” (Qs. An-Nisa : 34).
Menanggapi kritik para aktivis Feminisme terhadap agama Islam ini, para cendekiawan muslim berusaha menanggapinya secara kritis. Misalnya Asghar Ali Engineer, cendekiawan Muslim India yang dikenal cukup kritis dalam memahami agama Islam, dalam buku Islam dan Teologi Pembebasan (1999) berpendapat bahwa Al-Qur’an (wahyu) sejatinya bersifat normatif dan sekaligus pragmatis. Al-Qur’an diturunkan dalam suatu konstruksi sosial yang bersifat kontekstual dan dinamis.
Atas dasar inilah, menurut Asghar Ali Engineer, bahwa turunnya wahyu harus dilihat dalam konteks dimana tempatnya berada. Dengan kata lain, memahami wahyu harus memperhatikan aspek historisitasnya.
Asghar Ali Engineer mengajak kita agar tidak menempatkan konteks budaya Arab sebagai teks yang normatif. Yang mesti dipahami sebagai teks adalah wahyu Tuhan yang normatif. Namun disini, kebanyakan umat Islam terjebak justru dalam teks-teks normatif. Umat Islam menerapkan teks-teks normatif tersebut tanpa melihat konteks sosio-historis yang jelas bersifat parsial, profan dan dinamis.

Islam dan Kesetaraan Gender
Sepintas, surat An-Nisa ayat 34 tadi seakan-akan merendahkan derajat perempuan. Wahyu ini memang diturunkan dalam konteks budaya patriarkhi. Menurut hemat penulis, wahyu Tuhan ini jelas sangat relevan dengan konteksnya. Sebab, wahyu ini diturunkan untuk menjawab persoalan dalam konteks budaya setempat. Hanya saja yang patut dicermati, budaya setempat itu kontekstual dan dinamis. Artinya, perlu dipertegas, bahwa budaya setempat bukan sebagai teks normatif yang statis. Otomatis, budaya setempat tidak bisa dijadikan sebagai pegangan (doktrin)
Yang harus dipahami oleh kalangan aktivis Feminisme di Barat bukanlah makna tekstual surat An-Nisa ayat 34. mereka harus memahami budaya turunya wahyu ini berdasarkan prinsip ”relevansi” dan ”keadilan sosial”. Maksudnya, wahyu ini jelas relevan dengan konteksnya. Sementara menempatkan posisi kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan dalam konteks masyarakat Arab jelas cukup adil. Tentu akan lain seandainya wahyu tersebut diturunkan dalam konteks budaya matrinial.
Sesungguhnya kedudukan kaum perempuan cukup strategis dalam agama Islam. Sebab, surat An-Nisa ayat 34 bukan satu-satunya surat yang membicarakan kedudukan perempuan dalam Islam. Dengan mengkaji beberapa ayat sejenis dalam Al-Qur’an masih membuka kemungkinan tafsir-tafsir yang lebih toleran untuk menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki. Kita bisa menggunakan surat Al-Baqarah ayat 228 dan Al-Ahzab ayat 35. justru dari dua ayat ini sama sekali tidak menunjukkan adanya diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Sebab, antara keduanya dinilai sepadan.
Meskipun antara kaum laki-laki dan perempuan di pandang sederajat, tetapi dalam memperoleh hak-hak tersebut disesuaikan dengan kodrat penciptaan masing-masing. Hak-hak tersebut dianggap sepadan dengan catatan tidak menyalahi kodrat penciptaannya. Penulis yakin bahwa tidak ada stigma diskriminatif dalam ajaran Islam, namun secara historis, boleh jadi demikian. Seperti posisi kaum perempuan dalam budaya Arab yang termarginalkan, jelas hal itu persoalan historis (kontekstual).
Prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam Islam justru memiliki keunikan tersendiri jika, dibandingkan dengan paradigma yang berkembang di Barat. Misalnya, dalam konteks budaya Indonesia, kaum perempuan bisa berpartisipasi di ranah publik dengan menjabat posisi struktural pemerintahan. Bahkan, dengan disyahkannya UU Pemilu yang mewajibkan kuota 30 % bagi kaum perempuan di Indonesia, merupakan bukti bahwa mereka yang bisa berbuat seperti apa yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.
Namun sekali lagi perlu diingat, perempuan dengan kodrat yang telah diberikan kepadanya jelas memiliki kelemahan tersendiri, seperti halnya kaum laki-laki. Secara kodrati, antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Atas pertimbangan rasional dengan memperhatikan kodratnya yang demikian, maka muncul batasan-batasan etik yang khas bagi kaum perempuan. Dalam hal ini, KOHATI sebagai gerakan sosial modernis banyak mengkaji hal tersebut.
Inilah salah satu bukti bahwa doktrin Islam sangat relevan dengan persoalan Feminisme. Namun Islam menawarkan standar tertentu dalam menempatkan prinsip kebebasan bagi kaum perempuan. Prinsip kebebasan tersebut tidak akan bisa dipahami berdasarkan standar Barat.

Tidak ada komentar:

 
Yin And Yang